Jumat, 22 Juni 2012

Football Fiction: Blessed Friday

Assalamualaikum Wr. Wb.


Uuum, haaaloooo, baru kali ini ya gue posting fanfic di blog. Well, sebenernya ini adalah birthday fic buat gue yang hari ini, Jumat, 22 Juni 2012, berulang tahun ke yang 16. Minta doanya aja sih yaa, hehe. Nggak ada perayaan, ngapain gue ngerayain ultah gue sendiri, itu kan sama aja gue ngerayain penantian kematian gue. Entah berapa lagi umur gue bersisa, wallahualam. Dan karena ultah gue jatuh di hari Jumat, nggak ada salahnya kan ngambil judul Blessed Friday? Wehehe, ini hari kesukaannya Bang Khalid, karena tiap hari ini dia pasti ngetweet “Blessed Friday / Jumuah Mubarak! J” gitu. Pernah suatu saat dia ngetweet kayak gitu dalam bahasa Indonesia, dan gue langsung fangirlingan di rumah. Tweetnya udah gue fave~ XD yang penasaran silakan cek aja di @tantistiq, hehe. Dan daripada gue kebanyakan ngemeng yang bisa bikin ini omongan  bisa lebih panjang dari ceritanya, mendingan mulai aja yuuuk~

 
Blessed Friday

Disclaimer :

Der Oranje © KNVB

“Blessed Friday! / Jumuah Mubarak!” © Khalid Boulahrouz

Blessed Friday © Meh

Character(s) : Khalid Boulahrouz, Ibrahim Afellay, and some Der Oranje players.

Warning : typos, ngawur, ngaco abis. Bahasa semau gue. Dan romens kacangan. Apalagi ya? OOC? Halah, bahkan gue nggak tau mereka karakternya gimana, sepenglihatan gue doang sih. Nista abis, awas mata katarak dan jadi hobi ngupil (?)

Ohyaaa, satu lagi! Lupakan anak dan istri! Disini adanya bromance! Bruakakakak! *ketawa nista* *digaplok wags de oranje*
.
.
.
Blessed Friday
Happy Reading :)
.
.
.
Matahari pagi Ukraina bersinar cerah bersamaan dengan datangnya angin semilir yang masuk menerobos jendela kamar hotel. Burung-burung berkicauan dan beterbangan mengitari bunga-bunga di luar kamar. Sungguh pagi yang anggun—aku biasa menyebutnya morning grace. Dan aku harap hari ini--hari Jumat, seperti biasa membawa berkah tersendiri untukku.

Aku membereskan kasur yang kacau setelah kupakai tidur. Memang sebenarnya bisa saja aku menyuruh OB di hotel ini, tapi aku bisa—dan lebih senang mengerjakannya sendiri. Yah, anggap saja aku membantu pekerjaan OB hotel ini.

Aku menatap refleksi diriku di kaca. Aku merapikan rambutku sedikit, dan kurasa semua sudah oke. Aku meraih tasku di dekat meja dan keluar, tak lupa menutup pintu. Di lorong hotel aku bertemu dengan Rafa dan Sneijder yang sedang berbincang-bincang.

“Pagi, Boula!” sapa mereka padaku. Aku mengulas senyum, “Pagi.” balasku.

“Kemana yang lain? Cuma kalian aja yang udah siap?” tanyaku.

Rafa memamerkan gigi putihnya. “Udah pada di luar, sih. Kita bangunnya telat, iya nggak, Sneij?” katanya sambil menyikut Sneijder. Sneijder hanya mengangguk sambil tersenyum. Aku mencibir.

“Udahlah, yuk cepet ke bawah. Ntar si rambut putih marah, lho!” ajak Rafa. Gantian, sekarang Sneijder yang menyikut co-captain itu.

“Jangan sembarangan ngomong. Orangnya denger bisa digiles kamu.” tegurnya. Rafa hanya nyengir. Lalu kami bergegas turun untuk bertemu yang lain. Aku yakin, pasti bisnya sudah menunggu dari tadi.

Di luar hotel, tampak teman-temanku sudah siap berangkat. Bisnya juga sudah ada, sesuai dugaanku. Aku, Rafa, dan Sneijder naik ke dalam bis itu dan segera mencari tempat duduk. Sial, sudah terisi semua. Yang tersisa hanya bangku bagian belakang dan di tengah... di sebelah Ibi. Aku malas duduk di belakang, rasanya mual. Jadi kuputuskan duduk di sebelah Ibi.

Aku menghampiri temanku itu. Dia sedang mendengarkan musik dari iPodnya sambil membaca buku. Aku menepuk bahunya. Kulihat dia terkejut dan segera melepas headsetnya.

“Yo, Ibi,” kataku, “boleh duduk disini nggak?”

Ibi tersenyum, “Eh, Boula. Boleh kok. Sini,” katanya sambil menepuk kursi di sebelahnya. Aku menaruh tasku di tempat penyimpanan yang ada di atas kepala kami, lalu duduk di samping Ibi.

“Semua sudah lengkap?” tanya Coach Marwijk.

“Sudah, Coach!” seru kami semua—para pemain.

Coach mengangguk puas. “Bagus, sekarang kita bisa berangkat.”
Dan bis kami pun melaju meninggalkan hotel tempat kami menginap selama Euro Cup berlangsung.

Selama perjalanan, bis kami ramai dengan ocehan anak-anak. Lihat, si De Jong sedang bertanding melawak dengan Kuyt. Ada juga Rafa, Sneijder, dan Heitinga yang bersekongkol untuk menjahili Klaas. Robin terlihat asyik mengobrol dengan Der Wiel. Van Bommel tampak tenang dengan headsetnya. Sementara aku dan Ibi hanya terdiam. Ibi membaca buku, sedangkan aku melihat teman-temanku. Merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini, aku mencoba membuka pembicaraan.

“Baca buku apa?” tanyaku.

Ibi menoleh, lalu melepas headsetnya. “Apa?”

“Baca buku apa?” ulangku.

“Oh,” dia tersenyum, “aku juga nggak tau baca buku apa ini.”

Aku sweatdrop. “Ibi...” kataku, menggelengkan kepala. Ibi hanya menggaruk kepalanya.

“Aku nemu di meja kamarku, karena tadi buru-buru semua aku bawa, dan tanpa sadar ternyata aku juga bawa buku ini, jadi yaa daripada nggak dibaca, ya aku baca aja deh,” ujarnya.

“Dasar.” kataku sambil mengacak rambutnya.

Ah, akhirnya suasana di antara kami tidak sekaku tadi. Kini aku berbincang dengan Ibi, bahkan bersenda gurau. Aku suka suasana seperti ini.

-----

Tak terasa bis kami sudah tiba di stadium tempat kami latihan. Kami semua turun dari bis dan bergegas ke locker room untuk mengganti baju dengan kaos training.

Selesai berganti baju, Coach Marwijk menyuruh kami untuk berlari dan stretching. Setelah itu berlatih seperti biasa, dribel bola, oper bola, dan lainnya. Kami semua melakukannya dengan serius, tapi tentu saja santai agar tidak terlalu tegang.

Setelah beberapa saat, aku berlari ke pinggir lapangan untuk melepas dahaga. Dari pinggir lapangan, aku melihat Ibi berlari memutari lapangan bersama Robin. Mereka tertawa-tawa. Aku menatap mereka datar. Kenapa ya? Seperti ada sesuatu yang membuncah dalam hatiku.

Merasa aku tidak ingin membiarkan pemandangan itu berlangsung lama, selesai melepas dahaga aku segera kembali ke lapangan dan menghampiri Ibi. Aku ingin mengajak dia berlari bersama. Tepat sekali, Coach juga memanggil Robin. Sepertinya ada perlu. Ah, apapun itu aku tidak peduli, yang penting aku bisa bersama midfielder imut itu, hehehe.

Tapi, baru saja aku mau bilang padanya kalau aku su—ingin mengajaknya lari bersama, Robben dan Sneijder memanggilku untuk latihan bersama. Ah, kalian ini. Tidak bisa melihat orang senang ya? Terpaksa aku meninggalkan dia dan menghampiri duo botak yang kalau saja punya rambut, pasti sudah kubotaki sampai tak ada satupun helai rambut tumbuh di kepala mereka.
Sambil berjalan Robben mengangkat kaki kirinya dan memegangnya dengan kedua tangannya sambil menghitung. Sneijder juga melakukan apa yang Robben lakukan. Aku hanya mengamati mereka berdua tanpa mengikuti. Robben lalu mengganti kaki kiri dengan kaki kanannya. Sneijder juga masih mengikuti, dan aku masih mengamati. Hingga Robben berteriak padaku.

“Hoi, Boula, ikutin kek, malah melongo begitu!” hardiknya.

Aku gelagapan. “Eh? Oh, ah, iya!” jawabku lalu melakukan kegiatan yang sedari tadi hanya kuamati. Sesekali aku melirik Ibi, yang sedang melakukan pemanasan bersama Klaas, Heitinga, dan Willem. Dia tampak serius melakukan pemanasan itu, membuatku juga tertular untuk melakukan hal yang sama.

-----

Selesai pemanasan, kami—aku, Robben, dan Sneijder—dan Ibi dipanggil Coach untuk latihan di dekat gawang. Disana sudah ada Bommel dan Rafa yang menunggu kami.

Aku bingung melihat Bommel memegang bola dan memakai kaos kuning tanpa lengan, begitu juga Rafa, hanya saja dia tidak memegang bola. Rafa memberikanku satu.

“Buat apa nih?” aku mengernyitkan dahi.

“Latihan three on three. Aku, Rafa, sama kamu satu tim.” kata Bommel dari belakang gawang. Sekedar info, Bommel berdiri di belakang gawang, sedang kami berlima ada di depan gawang.

“Oh, berarti timku sama Robben dan Sneijder. Oke, Captain!” sahut Ibi ceria. Ah, kapten sialan, kenapa aku tidak disatutimkan saja sama Ibi, sih?

...eh, barusan aku ngomong apa? Oh, lupakan.

“Sudah, ayo latihan!” perintah Bommel, dan kami berenam pun latihan. Bola berada di pihakku, dan kini aku kebagian operan dari Bommel. Ibi menghampiriku, berusaha merebut bola. Aku menyeringai. Saat dia mendekat, aku mengoper bola pada Rafa. Ibi mendecak kesal, lalu lari mengejar bola, mengikuti Robben dan Sneijder.

Kami latihan three on three selama 30 menit. Selesai latihan, aku melepas kaosku dan melemparnya ke Rafa. Baru saja co-kapten itu mau protes, aku buru-buru menyela, “Tolong taroin dong. Aku capek nih, mager pula,” yang langsung dibalas dengan gerutuannya, tapi membawa kaosku juga. Aku tertawa kecil. Ibi yang tengah duduk di lapangan juga tertawa.

“Naro sendiri aja males banget sih,” katanya tersenyum. Tangannya memegang kedua kakinya, melakukan peregangan. Keringat merembes membasahi tubuhnya. Aku duduk di depannya, tanganku menyangga tubuhku di rumput-rumput lapangan.

“Biarin. Sekali-sekali perbudak si Rafa. Dia kan hobi memperbudak orang lain, makanya dia harus tau gimana rasanya diperbudak,” ujarku sambil menatap laki-laki yang usianya lebih muda 4 tahun dariku. Dia hanya tersenyum.

“Dasar.”

-----

Tak ada kata-kata di antara kami. Ibi sibuk meregangkan kakinya. Aku mengamati pemain lain yang masih berlatih. Eh? Apa itu? Rafa merangkul Robben? Well, rangkul-merangkul sesama pria memang sudah biasa sih, tapi apa kalau merangkul sesama pria dari belakang itu apa sudah biasa? Ditambah lagi Robben sepertinya menikmatinya, lihat itu tangannya memegang tangan Rafa. Rafa sendiri tertawa-tawa. Wahaha, rasakan kau Rafa, aku sebarkan nanti di bis, sepertinya seru sekali, bruakakakak (?)
Di sebelah mereka, ada Sneijder yang melihat ‘kemesraan’ mereka. Dia tersenyum cerah—atau tersenyum palsu? Nah, aku seperti merasakan ada hawa kecemburuan disini—oke, sebut aku anak yang sotoy, tapi kan kalau berspekulasi boleh dong? Kan hakku juga.

“Ngeliatin apaan sih? Senyum-senyum sendiri gitu,” tegur Ibi heran. Aku menoleh ke Ibi.

“Liatin tuh, ada yang lagi ‘mesra-mesraan’,” kataku sambil menunjuk ke arah Rafa dan Robben. Ibi melihat arah yang kutunjuk.

“Ahahaha, dasar. Mesra-mesraan nggak liat tempat,” komentarnya. Aku melirik Ibi. Anak ini murah senyum sekali, sedikit-sedikit senyum, sana-sini senyum. Dan apakah aku sudah bilang kalau senyumnya itu mampu membuatku meleleh? (sebenarnya tidak sampai meleleh karena aku bukan lilin, penulisnya saja yang terlalu lebay. Ada juga dia yang meleleh!) Aah, Ibi itu laki-laki yang paling imut di De Oranje. Aku yakin semuanya setuju sama pendapatku ini.

“Masih capek?” tanyaku padanya.

Ibi menggeleng. “Enggak, kau sendiri?”

Aku juga menggeleng. Tiba-tiba terlintas ide di benakku. Aku bangkit dari dudukku.

“Ibi! Kita taruhan, yuk!”

Pemain bernomor punggung 20 itu mengernyitkan dahinya. “Taruhan?”

“Iya!” Aku mengangguk memastikan.

“Enggak mau, ah. Taruhan kan dosa,” katanya sambil memanyunkan bibirnya. Tuh kan, anak ini imut banget sih!

Aku menepuk dahiku, “Astagfirullah, lupa. Kalau gitu aku ganti deh. Aku punya tantangan buat kamu, Bi.”

Raut wajah Ibi berubah cerah. “Nah, ini aku baru setuju. Tantangan apa? Ada hadiahnya?” tanyanya antusias.

“Ayo kita main panna. Aku kasih kamu kesempatan panna tiga kali. Kalo kamu bisa panna lawan aku, aku ajak kamu liburan gratis. Gimana, tertarik?”

Senyum pemuda itu merekah semakin lebar. “Mau, lah! Aku setuju! Terus kalo aku nggak bisa panna gimana?”

“Ah, itu belakangan aja mikirinnya. Yuk, kita mulai, nanti keburu latihannya selesai!”

Aku mengulurkan tanganku ke arah Ibi. Ibi menyambutnya, bangkit dari duduknya.

“Oi, Rafa, lemparin bola kesini dong!” seruku pada Rafa. Lagi, Rafa misuh-misuh kusuruh begitu. Aku dan Ibi tertawa-tawa.

Rafa melempar bola kencang. “Udah tuh, awas nyuruh-nyuruh lagi! Emang gue budak elo, apa? Boula, bilang apa lo sama gue?” sungutnya kesal. Ibi menangkap bola seraya meneriakkan terima kasih, mewakilkanku.
“Oke, kita mulai ya!”

-----

Ini dia. Bola ada di kakiku. Setelah aku menghitung sampai tiga, dimulailah tantangan kecilku pada Ibi. Oke, tantangan ini sebenarnya modus sih, supaya aku bisa liburan berdua dengannya. Tapi Ibi itu polos, kurasa dia tak akan berpikiran sejauh itu—mungkin.

Aku mengoper bola itu ke Ibi, dan dia mulai menggiring bola mendekatiku. Aku terus bergerak menjauh, tapi dia berusaha menendang bola itu ke kakiku. Derai tawa kami mengiringi kegiatan menyenangkan ini. Sesekali aku menarik kaosnya agar dia tidak bisa menendang bola ke antara kakiku. Namun Ibi juga sigap, dia melepas tarikanku lalu berusaha melesakkan bola. Sayangnya aku lebih cepat darinya, aku menghindar dari lesakkannya. Terkadang aku juga merebut bola darinya, tapi Ibi berusaha mengecohku. Sial, dia pandai menggocek bola, lihai sekali. Saat dia menggocek bola, aku berada di belakangnya. Tiba-tiba dia menendang bola itu menggunakan tungkainya. Bola melesak ke kakiku, buru-buru aku merapatkan kaki agar tidak terjadi panna.

“Ah, sial! Nyaris tuh!” gerutu Ibi. Aku tertawa.

“Coba terus, nggak semudah itu kamu bisa panna aku!” ledekku.

Dia menyeringai, “Bisa, liat deh!”

Ibi tidak mudah menyerah. Ia sudah dua kali mencoba mem-panna-ku, tapi gagal. Dan dia tidak menyia-nyiakan kesempatan terakhir. Aku berjaga di depannya, bersiap merebut bola. Ibi masih menggocek. Aku baru saja mau men-sliding tackle dia dengan kedua kakiku, tapi ternyata bola masuk melewati antara dua kakiku. Aku terjatuh tertelungkup, bola ada di bawahku. Ibi bukannya menolongku, malah berlari meninggalkanku sambil tertawa-tawa.

“Wahahaha, aku bisa! Aku berhasil menyelesaikan tantangan panna-nya Boula! Yeeey!” teriaknya senang, masih berlari-lari. Tingkahnya itu seperti anak kecil, tapi aku menyukainya. Teman-teman lainnya yang ternyata sedari tadi memperhatikan kami bertepuk tangan. Aku bangkit sambil membawa bola. Senyum tipis merekah di wajahku.

Ibi berlari menghampiriku. “Kau nggak lupa dengan janjimu kan, Boula?” tanyanya sambil tersenyum. Matanya berbinar-binar senang.

“Enggak, lah,” jawabku enteng, “nanti kita rencanain mau liburan dimana, oke?” Ibi hanya mengangguk tanda setuju denganku.

Aku berjalan dengannya menuju pinggir lapangan. Aku dan Ibi melakukan tos khas kami, lalu berangkulan. Dan entah bagaimana mulanya, aku menggendong Ibi di punggungku. Ibi hanya tersenyum.

“Kamu lelah, kan?”

“Sedikit, hehe.”

Aku mengencangkan gendonganku padanya, berniat membawanya sampai pinggir lapangan. Tapi ternyata Coach memanggilku. Aduh, ada apa ini ya?

“Boula, kau dipanggil tuh. Aku jalan aja deh. Cepet samperin, ntar dia marah lagi,” kata Ibi mengingatkan. Aku mengangguk. Ibi melepaskan diri dari gendonganku kemudian berlari menuju pinggir lapangan, sedangkan aku pergi menemui Coach. Teman-temanku melihatku menghampirinya. Samar-samar aku mendengar bisik-bisik mereka yang mengatakan kalau aku akan dimarahi olehnya.

“Coach memanggil saya? Ada apa?” tanyaku sesampainya. Coach menyilangkan tangannya di belakang.

“Kamu...” geramnya. Uh-oh, orang ini pasti marah gara-gara aku main panna sama Ibi, kan itu tidak ada dalam jadwal latihan. Matilah aku. Teman-temanku mulai komat-kamit, mendoakan agar aku masih bernyawa. Bukan rahasia lagi, Coach kalau sudah marah sangat menyeramkan, dia bisa membuatmu ingin cepat mengakhiri hidupmu.

“Kamu...” aku tidak berani melihat raut wajahnya. Tanpa kulihat juga tahu, pasti saat ini tampangnya sangat menyeramkan. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini!

“Enggak ada apa-apa. Misscalled doang kok.” kata Coach kalem. Bibirnya menyunggingkan senyum jahil padaku. Aku cengo di tempat.

...dafuq?

-----

“Ahahaha, gila, baru tau aku si Coach bisa jail kayak gitu! Aku kira dia bisanya cuma marah doang!” kata De Jong saat aku selesai menceritakan kejadian yang barusan kualami.

“Nah, itu namanya kualat, elo dari tadi perbudak gue mulu sih, Boula!” Rafa ngakak parah di locker room sambil meledekku. Bukan dia saja, satu ruangan semua menertawakanku. Bahkan Ibi pun. Jahat sekali kalian semua...

Ya, aku baru saja memasuki locker room dengan bersungut-sungut. Teman-teman yang melihat raut wajahku yang masam bertanya-tanya apa yang terjadi. Sneijder iseng mengatakan aku baru saja dilamar Coach. Langsung saja anak itu kusabet dengan kaosku. Sembarangan. Mana mau aku sama orang tua, apalagi orang kayak Coach itu. Bisa mati muda aku.
Kembali ke cerita. Aku yang dalam tekanan teman-teman terpaksa menceritakan kejadian sebenarnya. Spontan mereka semua ngakak parah mendengarnya. Heh, orang mah dikasihanin gitu kek, eh, kaliannya...

“Nyahaha, sabar ya Boula, itu si Coach mah emang nggak bisa liat orang seneng,” ucap Heitinga sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku cemberut.

“Berisik kalian semua.”

“Eh, lagian mesra-mesraan nggak liat tempat, sih!” celetuk Bommel. Aku mendelik padanya.

“Siapa yang mesra-mesraan? Sama siapa?” sungutku. Sontak teman-temanku melirik Ibi.

“Apa?” tanya Ibi polos.

“Udah, Bi. Mereka semua orang gila jadi jangan didengerin deh.” kataku ketus sambil men-death glare­ mereka semua. Eh, mereka malah cengar-cengir nggak jelas. Dasar gila.

“Huh. Bisa banget ya orang nyari alibi, padahal yang mesra-mesraan kan Rafa sama Robben, bukan aku,” sindirku. Jleb, Rafa dan Robben merona tipis.

“W-whaaaaaat?” seru Rafa sama Robben bersamaan. Aku ngakak.

“Bahkan ngomong ’what’-nya aja samaan! Serasi sekaleee!”

Dan yang lain pun ikut meledek Duo R itu. Heh, kedudukan seri, Rafa.

-----

Jam menunjukkan setengah 12 siang. Aku dan Ibi meminta izin pada Coach untuk melaksanakan sholat Jumat. Setelah mendapat izin, kami mencari ruangan yang pas untuk sholat.

“Di locker room kurasa nggak masalah, Boula,” usul Ibi. Aku berpikir sejenak, kemudian mengangguk setuju. “Okelah. Lagipula yang sholat cuma kita ini.”

Cuma kita. Itu artinya, berdua. Hanya aku dan Ibi. Tidak apa-apa sih, tapi suasana kami sunyi. Aku sibuk mencari baju kokoku di tas. Ibi juga sepertinya tidak berniat membuka pembicaraan. Sampai akhirnya dia menghela napas.

“Hhh, sial, aku lupa bawa koko,” rutuknya kesal. Aku merogoh tasku, berharap ada kokoku disana. Biasanya aku membawa dua buah, yah, berjaga saja kalau ada kejadian seperti ini.

“Nih, Ibi, pakai punyaku aja,” tawarku padanya seraya menyodorkan koko. Anak itu merasa segan.

“Nggak apa-apa aku pakai? Nanti kamu pakai apa?” tanyanya ragu.

Aku menunjukkan koko yang akan kupakai. “Aku bawa dua.”

“Oke, aku pinjam dulu kalau begitu. Makasih ya, Boula!” ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya menggumam “Yo.” lalu menuju kamar kecil. Tentu saja untuk mandi, habis latihan kan bau keringat.

Setelah selesai, gantian Ibi yang mandi. Tak berapa lama kemudian, Ibi sudah siap dengan koko yang kupinjamkan.

“Gimana? Cocok nggak aku pakai?” tanyanya sambil melihat pakaian yang melekat di tubuhnya. Aku tersenyum.

“Cocok kok. Kalau mau itu buatmu aja,”

“Ha? Serius? Double makasih ya, Boula!” Lagi, dia memperlihatkan senyuman manisnya, mungkin yang paling manis padaku. Ah, aku melting~ (bohong, penulis yang melting.)

“Ya sudah, ayo sholat. Aku imamnya ya.”

.

Selesai melaksanakan sholat Jumat, aku dan Ibi mengganti koko dengan kaos latihan. Aku menatap refleksi diriku di kaca untuk menyisir rambutku. Selesai, aku bersiap keluar sebelum suara itu menahan langkahku.

“Boula, tungguin!”

Aku menoleh. Oh, Ibi. Dia masih merapikan kokoku—yang sekarang menjadi miliknya—dan memasukkannya ke dalam tas. Di wajahnya masih tersisa tetesan-tetesan air wudhu tadi. Aku menghampirinya.

“Ibi,” panggilku.

“Ya?” responnya sambill menatapku.

Jumuah Mubarak. Happy Blessed Friday,” bisikku lalu mengecup pipinya. Astagfirullah, aku berani banget ngelakuin beginian!

Mata coklat Ibi membulat, lalu normal kembali bersamaan dengan merekahnya senyum manisnya. Pandangannya melembut. Dia mendekatiku dan membisikkan kata yang sama.

Jumuah Mubarak. Happy Blessed Friday too, Boula.”

Aku tersenyum. Kami berdua berangkulan, berjalan meninggalkan locker room.

Benar kan harapanku? Ini memang Jumat yang penuh berkah. Itulah mengapa aku selalu mengucapkan Jumuah Mubarak. Karena Jumat adalah rajanya hari, dan hari yang penuh berkah. Aku sendiri mendapatkan berkahnya, yaitu Ibi disampingku, dan juga latihan bersama teman-teman dan Coach yang menyenangkan. Dan aku bersyukur pada-Nya atas berkah-Nya itu.

Penulis juga dapat kok berkah hari Jumat. Insya Allah mentionnya di twitter padaku akan kubalas. Kalau sempat, hehe.

----- END -----
.
.
.

...oke, ini fail sumpah. Terlalu OOC, dan kalian semua tau ya siapa yang gue bikin OOC. Dan hintsnya emang masih sho-ai, gue nggak berani mairingin Boulabi(?), takut aja. Padahal kalo di pictnya, itu kan udah jelas banget. Tapi gue nggak mau, gue nggak tega, gue nggak beraniiiiii! DX *kubur diri*
Dan... ini fic pertama gue di fandom bola(?), hehe. Dan gue baru inget kenapa nggak buat aja Criska ya, malah Boulabi -___- ah sudahlah, anggap aja ini penghiburan buat diri gue atas kekalahan Belanda. Dan doakan dalam waktu dekat gue akan mempublish Criska fict. Yeay!~ XD *tebar konfetti*
Eniwei, ini settingnya canon(?), lho. Beberapa scene gue ambil berdasarkan realita /cielah yang kayak panna itu, terus yang si Rafa sama Robben. Penasaran? Buka aja postingan bertajuk ‘Blessed Friday Reference’, disitu ada hasil jepretan gue selama di Ukraina, hehe /pret

Ohya, panna itu artinya melesakkan bola di antara dua kaki. Bang Khalid emang ngajakin Kak Ibi taruhan loh, dan Kak Ibi berhasil dapet liburan gratis. Tjieeeh, mau dong Bang! XDDD /dih /sapelo

Review? Komen? Konkrit? Ucapan selamat ulang tahun buat gue? (abaikan terakhir) Ungkapin aja, bro!

Sekian terimakasih~

Adios~

Jumuah Mubarak / Blessed Friday all!

2 komentar:

  1. INI ROMANCE SERIUS GAN YAAMPOEN MASA GUE NGAKAK APALAGI SI VAN MARWIJK CUMI!! #heh dan "...dafuq?" itu bikin ngakak sumpeh.

    Kak Ibi unyuu banget di fic-nya yaampoeen ;u; bang Khalid gentleman abis keliatannya. dan lu masukin RobbenRafa itu apa-apaan gan-_- serem gilaa, tapi keren sih.

    Robin... kenapa dia muncul dikit doang gitu malah si Rafa muncul lebih banyak, hiks.. *nendang van marwijk*

    Dan fic lu keren, gue gajadi bikin ah #apelo

    BIKIN LAGI GAN!!! :DDDDDD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sankyuu gan, sankyuuuuuuu~

      Tapi nistanya emang keterlaluan, masa iya gue pairingin RobbenRafa, itu apa coba -____-

      Cabalyups, lain kali gue munculin yang banyak itu si Robin-nya :3

      Nggak, lu harus bikin! HARUS BIKIIIIN! /maksa

      Siaaaap! :DDDDDDDDDDd

      Hapus