Minggu, 24 Juni 2012

Football Fiction: Playing With Fire

Assalamualaikum Wr. Wb.


Balik lagiiii~! XDDD lagi, gue dalam keadaan mood sangat bagus karena gue masuk 3 besar di kelas (ALHAMDULILLAAAH! X’DD) dan gue abis pulang jalan-jalan dan banyak menemukan kesenangan di Sabtu ini, serta ide yang entah kenapa mengalir dengan derasnya. Jadi hadirlah sebuah fic ini, yup, fic bola lagi. Mumpung EURO, jangan nyia-nyiain kesempatan mencari hints disanaaaa! XD tapi untuk edisi ini nggak bertemakan EURO sih, lagian kalo EURO Cris sama Kaka nggak ketemu, laaah =3= dan ini idenya gue dapet pas lagi dengerin lagu Playing With Fire-nya Paula feat Ovi. Ehehe. /dih /penting oke langsung aja cekidooot~
 
Playing With Fire

Disclaimer :

La Liga © BBVA /oke ini sotoy/

Playing With Fire © Paula Seling Ovi (winner of Eurovision from Romania)

Playing With Fire © Meh

Character(s) : Cristiano Ronaldo, Ricardo Kaka, and maybe some Madrid’s players.

Warning : typo, nista, abal, OOC parah, mata katarak, sakit perut, sakit hati, ketagihan Criska /itumah elu doang/ /plak/ ohya. Umm. Mungkin akan ada adegan err—syur? /heh

Kali ini bromance disertai anak istri, dan mari kita akhiri omong kosong ini dengan memulai ceritanya.

Oh, satu lagi. Yang nggak suka Criska—apalagi CR, mendingan nggak usah baca. Gue capek denger hujatan orang-orang ke CR, kesel aja gitu. Gue aja yang benci sama Messoy nggak sampe segitunya. Cih. << dia kesel
.
.
.
Playing With Fire
Happy Reading :)
.
.
.
“Hai, Cris, aku Kaka. Aku harap suatu saat nanti aku bisa bermain satu tim denganmu.”

“Kau tidak apa-apa, Cris? Kuharap itu hanya luka kecil, tidak akan membuatmu cedera.”

“Selamat, Cris! Itu gol yang bagus!”

“Kau tau, Cris? Aku senang bisa menjadi lawan dan kawanmu.”
.
Di benak seorang pemuda Portugal yang sedang berbaring di kamar mansionnya, menari-nari dengan indahnya kalimat-kalimat itu. Di telinganya ia merasa mendengar suara itu. Matanya menatap langit-langit kamar, dan ia merasa ia melihat sosok orang itu.

“Kaka,” lirihnya.

Ya, Kaka. Seorang pesepakbola asal Brasil yang terkenal akan kereligiusannya. Seorang pesepakbola yang sangat mencintai anak istrinya. Seorang pesepakbola dengan kemampuan bermain bola yang hebat. Seorang pesepakbola yang pernah menjadi lawan dan kawannya.

Juga seorang pesepakbola yang… sangat ia cintai.

Entahlah. Cristiano juga tidak mengerti kenapa ia sangat menyukai pemuda Brasil itu. Ia tak habis pikir, hanya dengan senyumannya saja bisa membuatnya mabuk kepayang. Hanya dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya bisa membuat jantungnya bergetar tak karuan. Hanya dengan sikap dan perilakunya kepadanya bisa membuatnya mengeluarkan sisi lain dalam dirinya.


‘Kaka memang berbeda dari lainnya, sungguh berbeda. Dan aku tak mengerti kenapa ia bisa membuatku berbeda dari yang biasanya.’

~~X~~

 “Yo, Kaka. Aku juga berharap sama denganmu.”

“Aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Ini hanya luka kecil, tidak akan membuatku cedera. Kembalilah fokus pada pertandingan, jangan pikirkan lukaku, oke?”

“Golku tidak akan tampak bagus jika bukan karena assistmu yang cantik itu.”

“Aku juga. Aku merasa sangat senang sekali.”
.
Kaka terdiam menatap rintik hujan di dekat jendela. Pikirannya melayang-layang, kata-kata seorang pemuda Portugal berlarian di benaknya. Entah kenapa, hujan membuatnya mengingat—memikirkan pemuda itu.

“Kau melamun, sayang? Ada apa?” tiba-tiba istrinya datang menghampirinya, menepuk bahunya. Kaka terkesiap.

“Ah, bukan apa-apa. Aku hanya sedang melihat hujan. Kau tahu, hawa menjadi dingin karena hujan,” jawabnya.

“Oh, begitu… kau mau coklat panas? Aku sudah membuatnya untukmu,” tawar Caroline.

“Tentu. Taruh saja di meja, aku akan meminumnya nanti.”

“Baiklah kalau begitu, aku ke kamar dulu untuk mengurus anak-anak, ya.”

“Ya.”

Sepeninggal Caroline, kembali di benaknya melintas sosok seorang Cristiano Ronaldo. Sosok yang menurutnya keren, tegas, selalu mengeluarkan pernyataan absolut, dan sedikit arogan. Kaka tidak tahu mengapa, tapi ia sangat menyukainya—lupakan kearoganannya, ia tidak pernah menganggap teman setimnya itu arogan. Justru sebaliknya, ia sangat peduli… dan juga bersahabat.

Senyum tipis menghiasi wajah Kaka, tepat saat hujan berhenti.

~~X~~

Pertemuan pertama mereka bermula pada saat klub mereka—Manchester United dan AC Milan—dipertemukan dalam sebuah pertandingan di Liga Champions. Keduanya sudah mendengar kehebatan lawannya, dan membuat mereka sama-sama penasaran seperti apa kemampuan bertarungnya. Sampai akhirnya mereka berada dalam satu lapangan di tim yang berbeda.

Kesan pertama yang mereka ingat saat pertama kali melihat sang lawan adalah menarik. Ya, menarik. Begitu menarik karena mereka tidak menyangka akan dipertemukan disini—di Liga Champions, di Wembley Stadium.

Dan masih melekat erat di ingatan mereka, saat keduanya saling bergandengan tangan, menunjukkan kalau mereka bersahabat—lebih tepatnya sama-sama tertarik pada lawannya.

Lalu, tiba saatnya Kaka meninggalkan AC Milan yang telah dibelanya selama enam tahun menuju Real Madrid. Seharusnya ia masih ada di AC Milan sampai 2011, namun kondisi finansial yang saat itu benar-benar sangat mendesak, terpaksa klubnya itu menjualnya ke Real Madrid. Kaka pasrah akan hal ini, itu semua dilakukannya demi klub—loyalitasnya pada klub sangat tinggi, mengingat sebelumnya Madrid juga pernah menawarkan kontrak padanya, namun dia menolak.

Dan Kaka merasa kepindahannya ke Madrid tidak sia-sia. Sebulan kemudian Cristiano menyusulnya dari ranah Britania. Kaka tidak tahu mengapa, tapi saat mendengar berita ini, dia senang bukan main. Senyumnya tidak mau menghilang dari wajahnya. Ia sumringah.

“Hai, Cris, selamat datang di klub baru—yah, aku juga sih. Ngomong-ngomong, aku senang sekali harapanku bisa terkabul, aku bisa bermain setim denganmu,” sapa Kaka waktu itu. Cristiano tersenyum.

“Hai juga Kaka, terima kasih sambutannya, aku juga sangat senang sekali harapan kita terkabul,” balasnya.
Tangan mereka saling menjabat. Lengkungan bibir menghiasi paras tampan mereka.

Mereka tahu, ini adalah awal dari kehidupan mereka sepanjang karir mereka dalam persepakbolaan—mereka akan bermain dalam satu lapangan seperti dulu, namun bedanya di tim yang sama. Mereka tidak sabar menunggu hal-hal menarik untuk dilewati bersama.

~~X~~

“Kaka berlari menggiring bola, sudah dekat gawang. Ah, dia berhasil menghindari jebakan offside, mengumpankan bola matang kepada Cristiano, dan… GOOOOOOOL! Cristiano! Berhasil memaksimalkan assist cantik dari Kaka! Sungguh gol yang sangat ciamik dari kombinasi mereka berdua! Kedudukan saat ini Real Madrid 1 – 0 Valencia!”

“GOOOOOL!!!!” seru Cristiano gembira. Dia berlari-lari kesenangan. Kaka, Benzema, Marcelo, dan Ramos menghampirinya, mengerubunginya.

“Bagus, Cris!” ucap mereka sambil beramai-ramai memeluk Cristiano, tak lupa dengan selebrasi mereka.

“Gol yang bagus, Cris,” bisik Kaka senang saat dirinya memeluk Cristiano. Cristiano tersenyum lebar.

“Tidak akan terjadi tanpamu, Kaka,” balasnya.

Kaka melepaskan pelukannya. Cristiano masih tersenyum, lalu berlari bersamanya menuju posisi semula untuk kick off.

“Ayo kita cetak gol lebih banyak, Kaka,” ucapnya percaya diri.

Kaka mengangguk mantap.

~~X~~

“Kaka? Kau melamun?” Cristiano mengibaskan tangannya tepat di wajah Kaka. Pemuda itu terkesiap.

“Ah, Cris,” ia tersenyum, “bukan apa-apa. Aku sedang mengingat pertemuan pertama kita,” jawabnya.

“Oh,” respon Cristiano, “pertemuan pertama kita, ya...” gumamnya.

Kaka mengangguk. “Sungguh menarik. Aku tak bosan-bosan mengingatnya.”

Dalam hati Cristiano mengiyakan perkataannya. Dimanapun dia, sedang apapun dia, kapanpun dia, memori-memori pertemuan pertama mereka selalu memenuhi isi otaknya. Dan dia selalu tersenyum sendiri—masa bodoh dianggap orang tidak waras, toh mereka juga tahu sebenarnya Cristiano masih waras.

Suasana kembali sunyi. Kaka hanya mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan, pandangannya terpaku pada air yang tenang di kolam renang. Cristiano melanjutkan makan malamnya yang tertunda.

Ah, aku lupa menjelaskan kalau mereka saat ini sedang berada di sebuah resort milik klub mereka. Memang rencananya akan dibuka pada tahun 2015, tapi mereka diizinkan khusus untuk menempatinya terlebih dulu—tentu saja, mereka kan, pemain klub.

Resort Madrid sangat megah dan mewah, bangunannya berdiri tegak dan kokoh. Pemandangannya juga sangat menyegarkan mata. Fasilitas yang ada juga berbasis internasional dan sangat elegan. Tentu mengundang decak kagum banyak orang dan sangat menggoda untuk dikunjungi—tak peduli mereka harus merogoh kocek dalam-dalam untuk itu.

Dan disinilah mereka—Cristiano dan Kaka—menghabiskan waktu liburan mereka berdua. Teman-teman lainnya pergi entah kemana, mungkin menikmati wahana yang ada disana.

“Cris,” panggil Kaka tanpa mengalihkan tatapannya. Cristiano menghentikan makannya—kebetulan makannya juga sudah selesai.

“Kau tahu, ini memang aneh, tapi... aku menganggapmu lebih dari sekedar teman,” ucapnya pelan. Cristiano menautkan alisnya.

“Maksudmu?”

“Ya, begitulah. Kau itu... kau tahu, aku sangat menyukaimu.”

Jantung Cristiano hampir berhenti berdetak. Apa yang barusan Kaka bilang? Cristiano memutuskan untuk diam seribu bahasa.

“Dari pertama kita bertemu, aku sudah sangat tertarik padamu. Aku merasa kau itu hebat, keren, dan pandai. Aku tidak peduli dengan seseorang dari benua yang sama denganku—masa bodoh orang mau bilang apa tentangnya, yang aku tahu kau itu lebih darinya,” ujarnya lirih.

Cristiano masih terdiam, menunggu Kaka melanjutkan kata-katanya. Tapi ternyata Kaka juga terdiam. Cristiano menghela napas. Ini saatnya dia bicara tentang perasaannya.

“Aku juga sama sepertimu.”

Kaka menoleh, menatap Cristiano. “Apa katamu?”

“Ya, aku sama sepertimu. Aku merasakan sesuatu yang sama denganmu.”

“Kau yakin?” tanyanya tidak percaya.

Cristiano tertawa kecil, “Kapan, sih, aku tidak yakin dengan kata-kataku sendiri?” ucapnya sambil mengacak helaian hitam Kaka. Pemuda Brasil itu menatapnya lekat-lekat.

“Awalnya aku merasakan yang sama denganmu. Aku tertarik padamu, dan aku tidak peduli apa yang orang katakan tentangmu, yang aku tahu aku tertarik padamu—lebih tepatnya menyukaimu,” menarik napas sebentar, “ini aneh, tapi aku menyukaimu. Sangat menyukaimu. Lebih dari apapun.”

“Termasuk dari Irina sekalipun?” tanya Kaka frontal. Cristiano menggaruk pipinya. Entah kenapa, tapi Kaka sangat berharap Cris mengatakan ‘iya’.

“Ya,” jawabnya setelah diam beberapa saat, “bagaimana denganmu?” Cristiano bertanya balik. Kaka terkejut, kemudian memaku pandangannya pada bulan.

“Kau dan dia memiliki tempat di hatiku,” ucap Kaka pelan. Lagi, pemuda Portugal itu menautkan alisnya.

“Maksudmu?”

“Ya, kau dan Caroline memiliki tempat tersendiri disini,” meletakkan tangannya di dadanya, “dan kurasa rasaku terhadap kalian berdua...” Kaka memenggal kata-katanya. Cristiano menahan napasnya.

“...lebih besar padamu,” lirihnya.

Oke, Kaka memang mengatakannya pelan, pelan sekali. Seperti orang berbisik. Tapi Cristiano mendengarnya jelas. Jelas sekali, dan kata-kata itu berhasil membuat jantungnya bergemuruh. Hatinya bersemi.

Tak ada kata-kata lagi setelah itu. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Untuk ketiga kalinya suasana sunyi kembali. Sampai akhirnya Cristiano bangkit dari duduknya lalu memeluk Kaka. Manik cokelat pemuda Brasil itu membulat dengan indahnya.

“Cris?” tanyanya tidak yakin. Tak ada jawaban. Cristiano hanya mengeratkan pelukannya.

‘Kurasa ini jawabannya atas keraguanku tadi,’ batin Kaka. Ia tersenyum lembut, kemudian balas memeluknya.

Sedetik kemudian mereka melepas pelukan mereka, tersenyum menatap lawan bicara, kemudian dengan tangan saling bergandengan, mereka meninggalkan tempat itu.

Ya, mereka tahu mereka sedang bermain api sekarang, dan mereka harus berhati-hati. Bermain api memang menyenangkan karena menghangatkan, tapi kalau kau lengah sedikit, panasnya bisa menyakitimu. Seperti inilah yang mereka rasakan. Mereka merasakan bara cinta di antara mereka berkobar-kobar, namun jika mereka kelepasan dan menunjukkannya pada dunia luar, mereka akan merasakan akibatnya. Wanita yang mereka cintai juga—Irina dan Caroline—akan tersakiti hatinya, dan mereka tidak sampai hati melakukannya karena mereka belahan jiwa mereka juga.

Dan biarlah bulan menjadi saksi bisu pernyataan perasaan mereka berdua, juga perjalanan kehidupan mereka.

---END---
.
.
.
Beuh, ini malah lebih hancur dari yang pertama. Gue kenapa sih, seneng amat bikin romens gagal macem ginian? Tapi biarlah, gue emang mengharapkan (dan gue curiga) kalo sebenarnya Cris sama Kaka itu punya hubungan terselubung kayak gitu. Banyak kok hintsnya, cari aja di tumblr! Gue aja punya gambarnya banyak sefolder ada kali lah, gyaaa! XDDD dan Criska ini adalah bromance pertama gue /ngek

Terus, endingnya maksakeun ya? Argh, ini suasana lagi chaos sih, gara-gara tetangga sebelah /apaan tapi sebodo yang penting project Criska fic terselesaikaaaaaaan!~ XDDDD *tebar foto skandal Criska*

Review? Konkrit? Komen? Saran? Ungkapin aja, bro!

Sekian terimakasih atas luangan waktunya!

Adios!~

1 komentar:

  1. Gan harusnya lu bikin CrisLeo aja gan :( ini kan hari ultahnya Leo #Messi25 gituu #UDAHLUWOY

    Keren gan fic elu *liat fic sendiri* Kaka-nya keren ini, keliatan Kaka yang asli. Cris? Yah dia emang kayak gitu mau digimanain lagi, gue nggak bisa komeen :/ #heh

    “Tidak akan terjadi tanpamu, Kaka,” so sweeeeeeeeeeeeeeeeet. Jadi kasian gue sama Irina + Caroline oooh moc moc!

    ...spam 8) keren gan, bikin lagi. bikin fappersieee *terbang bersama thor* *ditimpukin* *balik lagi* boulaibi aja deh kalo gitu u.u

    BalasHapus